baca
Rabu, 11 September 2013
I Like After Tea
I LIKE AFTER TEA
Oleh Omelane Mami
Perpus
SMANTA masih sepi.Berarti tak ada kelas kosong. Pak Hasan dan Bu Ani menata
kartu-kartu peminjaman buku. Sayup-sayup terdengar dari radio Pak Hasan lagu
nostalgia. Entah apa judul lagunya. Aku tak paham dengan lagu-lagu macam itu. Sementara dari celah
lemari penyekat tampak Pak Dirja, petugas di referensi, sedang serius membaca
buku. Tipe guru yang rajin dan wibawa.
“Ada
apa nggak masuk kelas? Kosong?” sapa Bu Ani.
“Hi..
hi.. nggak kok Bu. Ini lho, disuruh mengerjakan di luar oleh Pak Prap,” jawabku
santai.
“Mesti
nggak ngerjakan pe – er ta?”
“Nggih
!”
“Kapok
!” sahut Pak Hasan.
“Pak,
Pak, baru kali ini kok. Lupa sih, nyiapkan laporan kegiatan OSIS.”
“Ya,
risiko jadi aktifis OSIS,” sambung Bu Ani.
“Boleh
masuk Bu?” tanyaku sambil menunjukkan KTA (kartu tanda anggota) perpus.
“He
eh.”
Soal
matematika mulai kukerjakan. Agar cepat aku pinjam kalkulator Pak Hasan. Baru
saja dapat dua nomor rasanya malas. Aku coba baca-baca koran.
“Ei
Non, nggak ikut pelajaran ?” sebuah suara yang asing tapi sepertinya pernah
kukenal.
“A....
Mas Toni. Ada apa Mas, ke mari ?” ternyata yang datang Mas Toni alumnus tahun
lalu.
“Presentasi
ke kelas tiga nanti siang. Jam ketujuh – delapan.”
“Semuanya
dari Jogya, ya ,Mas ?”
“Iya,
Mas Rozi janji akan datang juga.”
Mas Rozi konon siswa terbaik. Tapi
aku belum kenal siapa itu Mas Rozi. Konon dialah peraih NEM tertinggi tingkat
propinsi di zamannya. Siswa teladan, juara olimpiade Fisika. Ah tak tahu
prestasi apa lagi yang ia sumbangkan untuk SMANTA ini. Aku hanya mendengar
ceritanya saja.
Kalau
Mas Toni ini aku kenal karena ia sekretaris umum OSIS. Waktu itu aku masih akan
dikader, sedang Mas Toni akan purna karena kelas tiga. Entah memang tra-disi
atau aturannya seperti itu, kalau sudah kelas tiga berarti harus purna dari
kepengu-rusan OSIS.
“Aaa,
kok nglamun Nona manis ini,” Mas Toni membuyarkan.
“Enggak
nglamun kok Mas, “elakku” ini lho, aku tadi disuruh ngerjakan pe – er di
luar kelas. Terus masih dapat dua. Tolong Mas. Sampean kan jurusan teknik.”
“Kamu
yang kerja, aku bantu biar cepat.”
“OK
man!”
Kami
pun mengerjakan pe – erku. Dibantu Mas Toni dan kalkulator lagi. Belum sampai
satu jam pelajaran semua soal sudah selesai.
“Makasih
ya Mas. Nanti habis presentasi bisa bantu aku Mas.”
“Bantu
apa lagi ?”
“Aku
mau ngisi English Corner-nya AWALITA.”
“Pokok
nggak banyak aja.”
“Kutunggu
di kelasku ya ?”
“Kelas
mana ?”
“Tu
! Kelas sebelas IPS – tiga. Paliing pojok.”
“Insaalloh
aja. Doakan ada waktu.”
“Wow,
jadi sekarang super sibuk ya. Kenapa tadi ke SMANTA ?”
“Itu
bagian dari kesibukanku,“ jawabnya acuh.
“Pokok
nanti bisa dan kutunggu di sana,” jawabku sambil keluar perpus.
Pak
Prap masih mengelilingi siswa di kelas. Itu kebiasaan beliau. Jadi bagi siswa
yang mengalami kesulitan langsung bisa tanya. Tapi bagi yang tidak mengerjakan
pe-er atau latihan lain, pasti ketahuan.
“Sudah
selesai, Nik?” sapanya.
“Udah
Pak !” aku tunjukkan hasil kerjaku, eh juga kerja Mas Toni plus kalkulator itu.
Aku pun duduk di tempat biasanya, bagian depan ujung dekat pintu masuk.
Pelajaran
berjalan sangat lambat. Seakan jarum jam ini berhenti saja. Mas Toni kembali
muncul dalam bayangan saat pelajaran PPKn. Apalagi Bu Gurunya mengguna-kan
sistem KBK. Eh bukan berbasis kompetensi lo, tapi kegiatan berbasis kantuk.
Ra-sanya waktu tak pernah beranjak. Saat seperti ini otakku terbuai lagi oleh
Mas Toni. Ter-nyata ia tetap ramah seperti saat Malaka dulu. Tetap senang
gurau. Hanya tambah jerawat saja yang tampak seperti permen marbel.
Tapi kenapa aku harus minta bantuan Mas Toni
kalau hanya untuk English Cor-ner. Apa ini merupakan gejala bahwa aku senang
padanya? Benar saja kalau Mas Toni terganggu. Apalagi hari Sabtu. Jangan-jangan
pacar Mas Toni di SMANTA juga. Tentu mbak-mbak kelas tiga itu. Wah, bisa gawat
nih dikira aku membajak pacar orang. Celaka!!!
Akhirnya
sirine pun mau berteriak jua. Semuanya
tiarap ambil buku dalam laci. Siap pulang. Walaupun ada juga yang tak siap
pulang. Akulah salah satu contoh. Tapi be-danya aku tidak mojok seperti mereka.
Aku terlanjur janji dengan Mas Toni yang entah mau atau tidak. Aku tidak
pacaran seperti mereka. Tidak! Belum ada keinginan untuk itu, atau bahkan
tidak. Tak tahulah biar waktu saja yang menjawab.
“Yo,
pulang,” ajak Rara sambil tak lupa mencolek pipi. Ya ampun ini tadi sudah berdoa
dan memberi salam pada guru.
Kelas
sepi. Aku sendirian termangu antara jadi menanti Mas Toni atau aku yang datang
ke kantor BP tempat alumni ngepos. Tapi kalau aku menyusul ? Tak enak
juga. Apa mungkin Mas Toni masih ngobrol dengan mbak siapa begitu. Atau
.....ah kenapa ha-rus berpikir bahwa Mas Toni punya pacar. Apa ini namanya
cemburu ? Kalau ya, kenapa aku harus cemburu?
Terdengar
suara berlarian. Aku longok ke luar. Ternyata mereka anak-anak Pecin-ta Alam
sedang bergurau. Di antara yang berlarian itu terlihat Mas Toni tertawa-tawa.
Rupanya Mas Toni mengejar mereka. Aku masuk kelas lagi. Baru ingat kalau ia dulu ju-ga aktifis
Pecinta Alam. Ia pernah ngepos di
sekret itu selama ulangan umum.
“Udah
bosen nunggu?” celetuknya tiba-tiba.
“Ah,
ternyata lumayan bosenin,”jawabku dongkol.
“Pake
gaya Jakarte nih ye, ape lu bisa tuh?”ejeknya, “biar tampak keren ya? Ha...
ha.. ha... rumah kita itu udik, kenapa malu dengan bahasa sendiri.” Ia meneruskan meng-ejekku. Rasanya leher ini
sudah sarat dengan rasa dongkol.
“Udahlah
Mas, kira-kira Mas mau pa nggak bantu aku. Kalau nggak ya, kita pu-lang aja,”
jawabku menahan emosi.
“Enaknya
nggak mau aja ya, biar tambah rame. Kan ada orang marah-marah nan-tinya. Non,”
tiba-tiba suaranya serius, “nggak usah marah, maaf ya. Aku ke SMANTA kan untuk
presentasi tentang perguruan tinggi. Trus nemui teman-teman Satya Bhawana. Nah,
karena tadi waktu aku ngapeli Bu Ani ada yang pesen sepulang sekolah, aku pun
memenuhi tapi sehabis dari skretnya PA. Mohon pengertian ya,” terangnya.
Ternyata ia
bisa serius juga. Bijak juga. Aku tak bisa mengelak, kecuali menyetu-juinya.
Aku telah merepotkannya. Walaupun sambil bergurau toh ia datang juga.
Bagai-mana seandainya ia tak datang?
“OK, Mas
tolong koreksi ini dulu ya. Coreti aja kalau nggak pas, Syukur kalau Mas
betulkan sekalian. Aku cari snack duluan.”
“Minumnya juga
doooong.”
“OK, OK, wahat
you like? Coca cola, es kacang hijau, es campur, aqua, or tea?” jawabku
sebisanya sambil mencairkan suasana.
“OK kamu hebat
juga.”
Ah. Dada ini
rasanya mau meledak saja. Mas Toni mau juga menyanjungku. Kali ini tidak
kuaanggap bergurau karena dalam suasana serius dan ia sambil membaca artikel
bahasa Inggrisku.
“I like
after tea!” katanya santai sambil terus membaca artikelku.
“Ha..?? Jangan
ngejek ah Mas.” Aku mendongkol aku rasa tadi ia menyanjungku ternyata
jawabannya malah konyol. Jelas yang terakhir menawarkan teh, bagaimana ia minta
after tea? Terus minta apa?
“O, sorry.
Sorry don’t be angry, Miss “ tanpa beranjaka dari kertas artikelku, “Now, ei,
bi, ci ,di, ....... pi, qiu, er, es, tea, after tea......”ia tak
melanjutkan tapi menggantinya dengan senyum yang ... Ah tahulah.
“Ha...??? Tak
tahu seberapa lebar mataku terbelalak. Aku tak bisa berkata apa-apa. Benarkah
begitu? Kalau ini pasti melawak lagi, dan tak perlu ditanggapi.
Aku pun
berlari ke kantin, tanpa mengomentari Mas Toni. Kubeli beberapa botol fanta
(beserta isinya tentu) dan kue sekedarnya. Semuanya kubawa ke kelas bersama
se-tumpuk kegundahan. Kalau benar-benar Mas Toni menyukaiku bagaimana aku harus
menjawab. Apa aku selevel dia? Atau sebaliknya apa dia selevel
denganku. Terus apa Mas Toni akan apel ke rumahku? Eh, orang tuaku. Apa berarti
dengan begitu aku jadi pa-carnya? Terus pacaran itu bagaimana? Apa aku harus
ciuman dengannya, jika aku setuju ia jadi pacarku? (Seperti kata teman-teman
yang sudah punya pacar). Tapi katanya itu do-sa. Kata dokter ahli seksiologi,
justru melarang remaja berciuman dengan pacarnya. Kare-na ciuman awal dari
tindakan seksual selanjutnya. Ko-non mengakibatkan kecelakaan. Tapi kenapa
kecelakaan ? Bukankah itu sudah dike-hendaki? Hi... ngeri juga. Lalu bagai-mana
nanti. Apa Mas Toni juga menuntut untuk ciuman segala? Atau malah lebih dari
itu? Bagaimana harus menolaknya kalau diajak ciuman? Ah, entahlah!
“Kenapa nggak
segera masuk?” seru Mas Toni dari dalam.
“Itu ada Pak
Kardi,” jawabku mengalihkan perhatian.
“Pak! Kemari
Pak!” teriakku pada Pak Kardi, “Pak ini ada kue plus fanta, terus kelas ini
jangan tutup dulu ya. Aku minta diajari Mas Toni tuh. Nggak pacaran kok !” Pak Kardi mengangguk kemudian berlalu
sambil membawa pemberianku.
“Pandai juga
ya, menyuap Pak Bon.”
“Enggak nyuap,
ia orang yang berjasa besar di sekolah sini.”
“Kamu akrab
sekali.”
“Tidak hanya
sekali, tapi dua, atau bahkan banyak kali.”
“Kenapa?”
agaknya Mas Toni keheranan.
“Bapakku, Pak Bon juga,” jawabku tenang.
Ia masih keheranan aku pun melanjut-kan kata-kataku,“Iya sih. Pak Bon kopi dan
kakau di bawah gunung Kelud sana.”
Rupanya memang
ia belum tahu tentang aku.
“Ayo dinikmati
Mas!”
“Ehmm ...ini
udah bagus. Aku yakin tim redaksinya mau terima” Mas Toni me-nyerahkan lembar
artikelku lalu menuju ke pintu dan menutupnya.
“Kenapa
ditutup Mas?” aku mulai berdebar keras. Negatif thinkingku
muncul.
“Nggak enak.
Kita makan-makan berdua dan nanti dilihat orang.”
“Ah, nanti
kita dikira pacaran lho...”
“Memangnya
kenapa? Kalau kita cuma berdua gini walaupun nggak pacaran orang pasti mengira
kita pacaran. Kan lebih baik pacaran sungguhan,” Mas Toni kembali duduk. Kali
ini mengambil kursi di dekatku. Direguknya fanta di depannya. Tiba-tiba ia
meraih tanganku dan berkata pelan.
“Nik gimana
kalau kita pacaran sungguhan?” tangannya terasa bergetar.
“Aku nggak
bisa ngomong apa-apa Nik. Hanya itu dan aku nggak ngerti harus ngomong apa
denganmu. Ngomong aku cinta kamu kok kayak sinetron aja. Ngomong aku sayang
kamu kok seperti apa. Yah, nggak tahu Nik,” katanya serius dan sebentar
se-bentar ia mengalihkan pandangan.
“Mas Toni
nggak melucu, kan?” tanyaku. Aku membiarkan jemariku dipermain-kan.
“Waduh Niiik,
aku ngomong serius gini dianggap melucu. Apa aku ini seperti Basuki ta Niik?”
Hampir saja
tawaku meledak. Tak tahu kali ini aku sangat tegar walaupun debaran jantungku
makin kencang. Mas Toni yang penuh humor ternyata bisa ngomong serius. Romantis
lagi. Padahal ia belum tahu siapa aku demikian pula aku belum tahu siapa
se-benarnya Mas Toni. Rumahnya mana aku juga tak tahu. Apa pacaran artinya
untuk saling tahu masing-masing. Kalau memang demikian, kenapa harus ciuman
segala, bahkan ada yang terpaksa menikah. Ih...., remaja zaman dulu banyak yang
dipaksa-paksa menikah, tapi kini justru banyak remaja yang terpaksa harus
menikah. Kalau kujawab OK lalu aku nanti harus bagaimana? Ciuman? Ah, Kurasa
tak rugi ci-uman dengan Mas Toni. Ia gan-teng walaupun berjerawat besar-nesar.
Tapi dosa? Ganteng dan tak ganteng kalau ciuman tetap dosa ya? Terus gimana ya?
Bersalaman? Kalau bersalamannya lama juga gimana. Atau ....?? Ah, bukankah
jemariku sejak tadi berada di genggamannya? Apa ini juga dosa?.
“Gimana Nik?”
Aku tak kuasa
menjawab. Tiba-tiba Mas Toni mendekatkan wajahnya ke mukaku. Aku bingung. Tapi
apa yang harus kuperbuat? Mengelak, jangan-jangan ia tersinggung. Tapi rasanya
seperti apa ya ? Dosa , ah apa bisa mengurangi nilai agamaku di raport, atau
neraka. Aduuuh!!
Nafas Mas Toni
sudah terasa di kulit wajahku. Aku, aku. Aduuuh gimana?
Dok, dok, dok,
dok. Suara pintu dipukul-pukul keras dari luar disertai teriakan memanggil
namaku. Suara itu. Bukankah, itu suara ibu. Bagaimana ibu bisa ke mari.
“Niiik!
Niiiik! Niniiiiiik!” suara semakin keras.
Dok dok dok.
“Ayo Nik buka
pintunya !”
Kupandangi
sekali lagi wajah Mas Toni yang semakin tak jelas karena terlalu de-kat. Aku
bingung.
“Niiik ayo
buka pintunyaaaaa. Kamu sekolah apa enggak. Lihat itu sudah jam be-rapa?
Makanya kalau habis sholat subuh jangan tidur lagi.”
“Iya Buuu.”
Ya, ampun....,
sudah jam tujuh kurang sepuluh. Aku tadi tertidur di meja belajar? Waduh buku
matematikaku basah. Apa jadinya nanti. Pak Prap wah dia galak sekali. Pe-er
belum selesai, basah lagi. Ini naskah English Cornerku juga basah dan
tercoret-coret. Padahal aku janji hari ini. Ngeprint lagi sudah tak
mungkin.
“Aduuuh .
Gimana iniiii?
Smanta, april 05
Only for nana
Selasa, 10 September 2013
Baca !!!
Kebanyakan sepulang dari bepergian kita menceritakan perjalanan yang kita lakukan. Apa saja yang kita ketahui kita ceritakan. Itu karema kita telah mengamati atau membaca apa saja selama perjalanan.
Jika tidak memperhatikan hal-hal yang kita ketahui maka tidak akan bisa bercerita. Karena yang kita ketahui tidak terkesan sama sekali. Kita tidak memiliki bahan untuk bercerita kepada keluarga atau siapa saja.
Alangkah meruginya kita jika demikian. Perjalanan yang sia-sia. Hanya buang usia. Sebegitu jauh yang kita tempuh. Sebegitu lama waktu kita buang percuma.Sebegitu panjang jalan yang kita tapaki tanpa ada yang terkenang.
Tidak berlebihan jika mulai saat ini kita membiasakan diri dengan MEMBACA. Baik dalam arti baca buku maupun dalam arti mengamati kehidupan sekitar kita. Dengan begitu kita bisa berbagi.
Imam Romeli
Jika tidak memperhatikan hal-hal yang kita ketahui maka tidak akan bisa bercerita. Karena yang kita ketahui tidak terkesan sama sekali. Kita tidak memiliki bahan untuk bercerita kepada keluarga atau siapa saja.
Alangkah meruginya kita jika demikian. Perjalanan yang sia-sia. Hanya buang usia. Sebegitu jauh yang kita tempuh. Sebegitu lama waktu kita buang percuma.Sebegitu panjang jalan yang kita tapaki tanpa ada yang terkenang.
Tidak berlebihan jika mulai saat ini kita membiasakan diri dengan MEMBACA. Baik dalam arti baca buku maupun dalam arti mengamati kehidupan sekitar kita. Dengan begitu kita bisa berbagi.
Imam Romeli
Langganan:
Postingan (Atom)